Neo-kolonialisme adalah bentuk penjajahan yang secara halus tidak disadari. Penjajahan gaya baru, terutama narkotika sudah menjadi musuh Indonesia sejak 1998. Sektor jajahan paling banyak ialah kaum remaja.
Menurut BNN (Badan Narkotika Nasional), pada Agustus tahun 2019, terjadi pentingkatan penggunaan narkotika di kalangan remaja.
Di masa pertumbuhan, remaja cenderung ingin memenuhi rasa penasaran. Mencoba hal-hal baru sudah bukan lagi tabu. Banyak pandangan menyatakan pelampiasan rasa penasaran remaja 80% mengarah ke hal negatif.
Dapat disadari di zaman sekarang. Keberadaan sehari-hari di dalam sekolah pada sistem full day school memicu stres. Hal ini tanpa disadari secara langsung. Proses harian remaja yang seharusnya sesuai dengan keinginan pola pikirnya, banting stir secara halus dengan nama “belajar”. Belajar dan sekolah yang menjadi hal penting sebagai penunjang masa depan remaja, berubah menjadi momok neo-kolonialisme pada remaja.
Dewasa ini, stres yang menyerang remaja menimbulkan keinginan adanya jalan pintas. Jalan pintas sekaligus jalan keluar pengendali stres. Salah satunya masuk ke dalam neo-kolonialisme dunia obat terlarang atau narkotika.
Jenis narkotika yang favorit di Indonesia adalah halusinogen dan stimulan. Halusinogen dapat menyebabkan pengidapnya halusinasi, nge-fly, hingga perubahan pola fikir. Halusinogen dapat menyebabkan pengidapnya meninggal dengan penggunaan jangka panjang.
Perubahan pola fikir menyebabkan konsentrasi remaja di sekolah terganggu. Pembelajaran yang terjadi di kelas tidak dapat diserap secara keseluruhan.
Sedangkan stimulan menyebabkan pengidapnya menjadi lebih semangat. Semangat yang terus muncul dapat dijadikan satir supaya tidak terlihat bermasalah. Stres teratasi karena stok semangat melimpah.
Narkotika menyerang otak bagian hipotalamus. Efek yg ditimbulkan dapat menghambat kerja neurotransmitter dalam menghantarkan rangsang, berupa penyampaian pesan dari sinaps (ujung akson ke ujung akson yg lain). Sistem saraf pusat (otak) yang terganggu akan menyebabkan kesusahan konsentrasi belajar.
Sisi pandang negatif tidak terlalu berlaku dihadapan remaja dengan jiwanya yang masih labil. Yang dilakukan untuk mencari pelampiasan akibat stres yang menimpa. Sehari-hari belajar di sekolah dengan sistem yang menurut mereka stuck. Sekolah seperti keinginan orangtua dan anak dijadikan mesin yang berjalan untuk mengikutinya.
Mayoritas pihak menempatkan pergaulan sebagai kambing hitam dari permasalahan ini. Sejak bayi hingga anak-anak, kehidupan dengan keluarga lebih mendominasi. Salah besar jika pergaulan memegang otoritas penuh atas permasalahan ini. Pendidikan moral memang diajarkan di sekolah. Tetapi sepenuhnya tetap dari orang tua. Anak-anak hingga remaja tidak akan mencari kesenangan di luar jika internal menyenangkan. Konsep keluar karena di dalam pengap adalah akar permasalahan ini.
Hendaknya orang tua, hingga calon orangtua memiliki pendidikan yang mumpuni mengenai neo-kolonialisme narkotika. Orang tua yang berpendidikan tidak harus bergelar beberapa deret. Seseorang yang belajar dari hidup dan permasalahan sekitar juga dapat dikatakan berpendidikan.
Ketika pemerintah getol mencari solusi, pengguna juga terjun ke dalam cara kreatif dengan cara mencampur (mengoplos). Pengedar yang sedang marak juga tidak ingin kalah dengan industri kreatif yang terus bergerak. Mulai dari pengemasan narkotika menjadi permen dengan kemasan menarik, hingga pemasaran yang lihai.
Tindakan preventif bagi orang tua milenial, dapat menerapkan prinsip selektif-permeable. Selektif berarti menyaring dengan meyakini dampak buruknya bagi remaja 90 persen. Hal ini dapat menjadi pencegahan. Permeable, tidak mengikat dan tidak pula membebaskan seluruhnya dengan kadar yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Anak berhak mempunyai otoritas sistem bebas tetapi dengan pengawasan.