Jakarta dan Tantangan Toleransi yang Belum Usai

0
11 views
Jakarta dan Tantangan Toleransi yang Belum Usai

Jakarta, sebagai ibu kota negara sekaligus pusat politik, ekonomi, dan budaya, sering dianggap sebagai cermin wajah Indonesia. Namun, hasil terbaru Indeks Kota Toleran (IKT) 2024 yang dirilis Setara Institute justru menyajikan kenyataan yang mengejutkan: Jakarta gagal menempati posisi 10 besar kota paling toleran di Indonesia.

Dalam laporan tersebut, peringkat tertinggi justru diraih kota-kota yang mungkin jarang menjadi sorotan nasional. Salatiga di Jawa Tengah menempati posisi pertama dengan skor 6,544, disusul Singkawang di Kalimantan Barat dan Semarang di Jawa Tengah. Bahkan hingga posisi ke-10 yang ditempati Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jakarta tetap absen dari daftar tersebut. Fakta ini menjadi pukulan sekaligus pengingat, bahwa ibu kota yang dikenal sebagai miniatur Indonesia justru belum mampu menunjukkan wajah terbaiknya dalam menjaga toleransi.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, mengakui hal ini sebagai sebuah tantangan. Menurutnya, kegagalan ini bukan hanya soal peringkat, melainkan cermin bahwa Jakarta masih punya pekerjaan rumah besar untuk memperkuat komitmen kebebasan beragama, kesetaraan, serta kerukunan sosial.

“Saya berharap IKT dapat menjadi pengingat sekaligus motivasi bagi Jakarta dan kota-kota lainnya untuk terus memperkuat komitmen dalam meningkatkan toleransi dan inklusi sosial. Dengan demikian, setiap kota di Indonesia mampu menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi seluruh elemen masyarakat,” jelasnya.

Sementara itu, PWNU DKI Jakarta juga memberikan catatan kritis. Dikutip dari laman jakarta.nu.or.id, Wakil Ketua H. Sulaiman menilai ada empat faktor utama yang membuat Jakarta tertinggal, salah satunya adalah lambannya respons regulasi dalam menghadapi politik identitas pasca Pilkada 2017. Luka sosial akibat peristiwa itu masih membekas dan memengaruhi wajah toleransi Jakarta hingga hari ini.

Namun, bukan berarti harapan hilang. Dari kalangan anak muda, Duta Damai Jakarta melihat hasil indeks ini sebagai peluang untuk berbenah. “Jakarta semestinya bisa jadi contoh, bukan tertinggal. Toleransi itu bukan hanya urusan pemerintah, tapi juga gaya hidup kita sehari-hari. Dari bagaimana kita berteman, berinteraksi di media sosial, hingga cara kita menghargai perbedaan di sekitar,” kata Koordinator Duta Damai Jakarta, Silvi Dwi Yanti.

Pandangan itu memperlihatkan bahwa pekerjaan besar membangun toleransi bukan hanya soal regulasi dan kebijakan, tapi juga soal budaya. Bagaimana masyarakat Jakarta, khususnya generasi mudanya, harus menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan ancaman.

Jakarta memang belum mampu menembus 10 besar, tetapi kegagalan bukan akhir, melainkan alarm yang mengingatkan pekerjaan seluruh elemen belum selesai, baik itu masyarakat mauapun pemerintah. Justru dengan modal keberagaman yang luar biasa, Jakarta punya kesempatan untuk membuktikan diri.

Belajar dari kota-kota lain namun berhasil menjaga kerukunan, Jakarta bisa menjadikan hasil ini sebagai titik balik. Sebab pada akhirnya, wajah toleransi Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana seluruh kotanya berdiri sebagai rumah besar yang merangkul semua perbedaan.