Dalam dunia dakwah, guyon atau candaan seringkali menjadi jembatan untuk menyampaikan pesan secara ringan namun tetap berkesan. Sayangnya, dalam melempar candaan terkadang seseorang melupakan hal yang semestinya dipahami, yaitu tidak semua candaan bisa diterima dengan baik oleh sebagian masyarakat.
Seperti hal yang baru ini terjadi, seorang pendakwah tengah menjadi sorotan lantaran candaan atau guyonannya kepada seorang penjual es yang dianggap merendahkan. Meski yang bersangkutan mengaku niatnya hanya untuk bercanda, insiden ini pun menimbulkan perdebatan tentang bagaimana semestinya ber-guyon atau ber-komedi secara bijak.
Sebagai bagian dari masyarakat yang terus berkembang, kita perlu memahami bahwa berkelakar bukan sekadar alat untuk menghibur. Ia juga membawa tanggung jawab sosial. Selain dapat mencairkan suasana, seni ini mampu menyampaikan pesan yang awalnya berat dikemas menjadi ringan untuk semua kalangan. Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, komedi bisa menjadi pedang bermata dua. Alih-alih menciptakan tawa, ia justru bisa menimbulkan luka, baik secara personal maupun sosial.
Kasus seorang pendakwah tersebut menjadi contoh nyata bagaimana komedi yang tidak terkontrol bisa melukai perasaan seseorang. Di sisi lain, polemik ini juga menjadi pengingat bahwa sebagai publik figur, setiap kata yang keluar memiliki dampak besar.
Menurut Koordinator Duta Damai Jakarta, Silvi Dwi Yanti, komedi seharusnya menjadi ruang untuk menyatukan, bukan memecah belah. “Komedi damai itu bukan berarti tanpa tawa, tapi tawa yang lahir dari kesadaran bahwa semua orang merasa dihargai, bukan direndahkan,” jelasnya.
Komedi memang seringkali bersifat subjektif. Apa yang lucu bagi seseorang, bisa jadi menyinggung bagi orang lain. Oleh karena itu, kata Silvi, penting untuk memahami batas-batas dalam ber-komedi, terutama ketika guyonan diarahkan kepada individu atau kelompok tertentu.
Berikut adalah beberapa cara agar guyonan dapat terdengar bijak dan sehat, serta menciptakan ruang yang inklusif dan menyatukan.
Kenali Audiens
Menurut Silvi, sebelum ber-guyon, penting untuk memahami siapa audiens yang menjadi target sasaran. “Apakah mereka teman dekat, kolega atau orang yang baru kita temui. Dengan mengenali karakter dan latar belakang audiens, kita dapat menyesuaikan guyonan agar lebih relevan dan tidak menyinggung,” ungkapnya.
Gunakan Humor Universal
Selain mengenali audiens, menggunakan guyonan yang sifatnya universal juga bisa menjadi pilihan. Misalnya, lelucon tentang kehidupan sehari-hari atau pengalaman umum yang biasa dialami banyak orang supaya lebih aman dan dapat dinikmati oleh semua kalangan.
Hindari Topik Sensitif
Sebelum melontarkan guyonan, pertimbangkan apakah topik tersebut dapat menyinggung perasaan orang lain atau tidak. Sebab setiap tempat, individu, atau kelompok memiliki budaya, norma dan nilai yang berbeda-beda. Menurut Silvi, sebelum melontarkan guyonan sebaiknya seseorang perlu memahami konteks budaya dari audiensnya, karena apa yang dianggap lucu di satu budaya mungkin tidak berlaku di budaya lain.
Perhatikan Reaksi Audiens
“Jika kamu melihat bahwa audiens tidak merespon dengan baik terhadap guyonan tertentu, segera ubah arah pembicaraan atau minta maaf jika perlu. Karena respons audiens adalah indikator penting tentang apakah humor kamu tepat atau tidak,” terang Silvi.
Jaga Rasa Hormat
Silvi juga menyampaikan untuk selalu mengutamakan rasa hormat terhadap orang lain saat ber-guyon. Sebab menurutnya humor seharusnya tidak merugikan atau menyakiti perasaan orang lain, sebaliknya harus membangun hubungan positif antar individu.
Duta Damai Jakarta, sebagai komunitas anak muda yang bergerak di bidang perdamaian, mengusung konsep “Komedi Damai” dalam setiap kampanyenya. Konsep ini mencoba menggabungkan sisi humor dengan nilai-nilai perdamaian, toleransi, dan anti kekerasan, sehingga pesan positif dapat tersampaikan dengan cara yang menyenangkan.
“Komedi damai bukan hanya soal lucu-lucuan, tapi bagaimana kita bisa membuat orang tertawa tanpa harus menyakiti hati orang lain. Ini adalah cara untuk membangun kebersamaan, bukan merusaknya.” jelasnya.
Menurut Silvi, salah satu prinsip dasar komedi damai adalah inklusivitas. Humor harus bisa dinikmati semua orang tanpa merasa terdiskriminasi. Dalam praktiknya, Duta Damai Jakarta sering membuat konten komedi yang mengangkat tema-tema sosial, seperti toleransi, persatuan, dan pentingnya menghargai perbedaan.“
Jika kita ingin humor kita diterima, kita harus memastikan bahwa humor itu mencerminkan empati. Kita bisa menyindir atau mengkritik terhadap situasi, tapi bukan orangnya. Itulah inti dari komedi damai,” tambahnya.
Silvi mengungkapkan polemik yang melibatkan antara pendakwah dan penjual es mengajarkan banyak hal, baik kepada publik figur maupun masyarakat umum. “Sebagai seorang publik figur yang memiliki banyak pengikut, sebenarnya memiliki peluang besar untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan melalui humor. Namun, insiden ini menjadi pengingat bahwa setiap kata harus dipilih dengan hati-hati,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Silvi juga mengajak anak muda untuk menggunakan momentum ini sebagai sarana merefleksikan diri dalam menggunakan humor di kehidupan sehari-hari, khususnya di ruang publik.
“Kami mengajak semua pihak, termasuk anak muda, untuk memanfaatkan humor dengan cara yang membangun. Mari menjadikan insiden ini sebagai momen refleksi dan perubahan. Dengan humor yang sehat dan bijak, kita tidak hanya menciptakan tawa, tetapi juga menjaga harmoni di tengah perbedaan,” pesan Silvi.