Masamba pagi hari lebih dingin dari yang saya perkirakan. Gerimis yang sejak tadi malam mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Seperti dugaan saya, langit di Masamba masih mendung, sepertihalnya kemarin. Saya masih ditemani Bojek, Koordinator respon DMC di Masamba. Hari ini Kamis (30/7), kami bersama tim berencana menyambangi pengungsian Desa Meli, sebuah kluster pengungsian terbesar di Masamba sejauh ini. Konon, ketika banjir bandang menerjang Masamba pada pertengahan Juli lalu, ribuan orang dengan kompak langsung menuju pengungsian tersebut.
Dari pusat kota Masamba, tim membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di kluster Pengungsian Meli. Penampakan rumah, sekolah, dan bangunan lain yang roboh terkena banjir menemani sepanjang perjalanan saya menuju tujuan. Terlihat bagaimana dahsyatnya air luapan Sungai Meli waktu itu. Sesekali , saya mengarahkan kamera untuk mengabadikan momen di sepanjang perjalanan.
Keluar dari jalan raya, mobil kami mulai masuk ke kluster Pengungsian Meli. Nampak satu dua tenda yang terpasang di pinggir jalan. Dihuni oleh beberapa keluarga yang memang tak punya pilihan, karena tak ada lagi papan yang bisa dihuni selain susunan terpal. Semakin kami masuk, semakin nampak beberapa. Lalu puluhan, hingga menjadi ratusan susunan tenda biru berbahan terpal sederhana. Kebanyakan mereka adalah warga Desa Radda, Kecamatan Baebunta, Luwu Utara. Esok hari adalah Idhul Adha, namun tidak saya lihat gemerlap nuansa hari raya di kluster Pengungsian Meli. Warga masih bersosialisasi, namun bencana membuat semua terasa berbeda.
Saya bertemu dengan Dasmia (55), seorang ibu sekaligus nenek yang menjadi saksi hidup dahsyatnya banjir bandang. Senin 13 Juli, pukul 9 WITA, Dasmia hanya mengira hujan sepertihalnya hujan biasanya. Namun, setengah jam berlalu, tiba-tiba gemuruh datang mebawa air beserta material lain. Seketika itu, tujuh anggota keluarga lain, langsung bergegas keluar menyelamatkan diri. Termasuk diantaranya cucu Dasmia yang masih berumur sebelas bulan pun langsung digendong.
“Waktu itu pukul Sembilan, air sudah mulai naik, kami bertujuh langsung keluar menuju bukit. Tidak berfikir untuk bawa apa, hanya badan saja, dan ikut juga menggendong cucu yang masih sebelas bulan. Pikir kami, selamat saja dulu waktu itu,” aku Dasmia.
Saat banjir semakin deras, saat itu pula aliran listrik terputus. Dasmia dan keluarga menuju ke perbukitan dan menemukan warga lain yang juga mengevakuasi diri. Hingga akhirnya mereka memutuskan mendirikan tenda darurat untuk beristirahat malam itu. Hari ini, ada 400 lebih keluarga yang menjadi tetangga baru Dasmia di Pengungsian Meli. Rumahnya, kini hanya kenangan, karena sudah hampir sepenuhnya tertimbun pasir, begitu pula dengan semua isinya.
“Kami tengok kemarin, rumah kami sudah hampir tertumpuk pasir dan banyak lagi ranting-ranting. Kami belum berani kembali, dan rumah kami juga sudah tidak layak huni,” tambah Dasmia.
Menyinggung kurban esok hari, Dasmia tak banyak berharap. Bencana yang datang tanpa permisi, membuat Dasmia dan ratusan keluarga lain di Pengungsian Meli hanya pasrah. Tak muluk-muluk untuk berkurban, mereka pun masih berfirkir dimana akan melaksanakan Sholat Ied. Daging kurban sudah lebih dari cukup bagi mereka untuk merasakan nuansa hari raya.
“Tak apa mas, barang hanya sedikit (merasakan daging kurban), kamu sudah sangat bersyukur,” aku Dasmia.
Dompet Dhuafa sendiri dalam event Tebar Hewan Kurban (THK) 2020, berencana menyembelih sekitar 38 ekor hewan kurban di Masamba. Pengungsian Meli menjadi salah satu titik persebaran hewan kurban THK. Saya tidak sabar melihat ekspresi Dasmia dan keluarga esok hari, ketika kami mengantarkan daging kurban ke tendanya.
(tulisan diambil dari artikel dompetdhuafa.org dan ditulis oleh Zulfana)