Kita ketahui Bachruddin Jusuf Habibie telah menjadi sosok pemimpin bangsa yang sangat inspiratif juga genius. Beliau pun merupakan ilmuwan sekaligus politisi yang sangat mencintai keluarga. Sebab itu kisah cintanya bersama ibu Ainun pun menjadi simbol kesetiaan dalam merajut kasih sayang.
Namun kini, Indonesia sedang berduka. Bapak yang biasa kita sebut Mr. Crack ini telah tutup usia di RSPAD Gatot Soebroto dalam usia 83 tahun pada Rabu (11/9) kemarin.
Dalam mengenang sosoknya, bukan hanya dari kisah cintanya dengan Ainun yang membuat kita kagum. Tetapi banyak sekali gagasan serta kebijakan yang cukup membuat kita bangga sehingga tak bisa melupakan hal tersebut.
Jika kita ingat saat itu, B.J Habibie menjadi manusia yang membuat pilihan-pilihan penting dalam situasi genting. Dengan status ‘pengganti HM Soeharto’ sebagai Presiden ke-3 Indonesia, dirinya punya tugas membalikkan 180 derajat arah politik Indonesia yang selama 32 tahun terakhir serba tertutup, anti-demokrasi, totaliter, dan abai terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).
Seperti yang dituliskan dalam bukunya, yaitu ‘Detik-Detik yang Menentukan’ Habibie mengatakan, “sejak menerima jabatan, saya senantiasa berusaha untuk melaksanakan demokratisasi, menegakkan supremasi hukum, menstabilkan perekonomian, dan promosi serta penghormatan hak-hak asasi manusia.”
Dan dia melakukannya dengan baik, dengan mengeluarkan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang mulai sejalan dengan semangat reformasi.
Salah satunya yaitu peraturan yang memungkinkan berdirinya partai politik di luar tiga partai tradisional yang diizinkan hidup di era Orde Baru: Golkar, PDI, dan PPP.
Selain itu, terbit dua juga regulasi demokratis: UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik; dan UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang pemilu. Dua peraturan ini yang memungkinkan Pemilu 1999 terselenggara, dengan jumlah peserta mencapai 48 partai.
Walau dua UU sudah tidak berlaku seiring dengan terbitnya regulasi baru yang menggantikannya. Tetapi semangatnya tetap sama, yakni semua orang diizinkkan mendirikan partai, asalkan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, dan pemilu tidak lagi penuh manipulasi. Sebab itu, partai-partai kini bergantian memenangkan pemilu, tergantung dari seberapa mampu mereka memikat masyarakat.
Selain itu, dirinya juga memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya lewat serikat buruh. Hal ini dibuktikan saat dia mencabut larangan pendirian serikat buruh independen dengan meratifikasi Konvensi ILO No.87 yang salah satu poinnya adalah “kebebasan berserikat”, selain larangan kerja paksa dan diskriminasi dalam pengupahan berdasarkan gender.
Sehingga mulailah banyak serikat buruh berdiri setelahnya, termasuk pecahan SPSI, sebuah serikat buruh tunggal yang dibentuk untuk melayani pemerintahan Orde Baru.
Pers yang dulu terkekang dan terbatas pun juga mulai bebas bersuara di era ini, ditandai dengan lahirnya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Bahkan, UU ini sampai sekarang tidak pernah disentuh oleh siapa pun.
Adat dan paham lain yang coba dihapus Habibie adalah persoalan tahanan politik. Dahulu pada era Soeharto, tidak terhitung jumlah orang-orang yang ditahan karena menentang pemerintah.
Namun pada era Habibie, beberapa aktivis oposisi Soeharto dibebaskan, seperti Sri Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, dan Muchtar Pakpahan. Sri Bintang dipenjara karena mengkritik Soeharto, sementara Muchtar dipenjara karena dianggap memicu kerusuhan di Medan, empat tahun sebelum Orde Baru jatuh.
Hal lain yang jadi perhatian adalah kebijakan terhadap Papua yang mulai berubah di era Habibie. Salah satunya adalah menyerahkan urusan keamanan Papua ke Polri, bukan TNI. Hal ini lantaran masalah Papua harus diselesaikan lewat diplomasi, bukan dengan kekerasan. Kemudian, kebijakan ini lantas diteruskan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, penggantinya yang terpilih tahun 1999.
Selain Papua, Habibie juga memberikan perhatian lebih terhadap etnis ‘tionghoa’, yang diketahui saat masa orde baru mereka direpresi karena identitasnya dianggap ‘non-pri’.
Dalam Implementasi kebijakan terhadap etnis tionghoa tersebut, ada dua kebijakan positif yang dikeluarkan Habibie. Pertama, Inpres Nomor 26/1998 yang menghapus istilah pribumi dan non-pribumi. Kedua, Inpres Nomor 4/1999 yang menghapus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia.