Pernyataan Agnez Mo yang mengatakan dirinya tidak berdarah Indonesia dalam wawancara Build Series by Yahoo menuai reaksi. Entah mereka bereaksi karena tak paham isi dari wawancara atau karena jiwa nasionalismenya terusik. Potongan video kurang dari semenit itu diambil dari wawancaranya di channel Youtube BUILD Series . Nah rekaman itu jadi landasan orang-orang yang merasa tersinggung.
Tentu bagi kita yang masih memiliki otak yang sehat akan menganggap bahwa wawancara di atas biasa-biasa saja. Bahkan di sana terkesan Agnez begitu bangga dengan ke-Indonesiannya. Namun, apa yang membuat netizen merasa tersinggung atau paling tidak perlu untuk merasa tersinggung?
Usut punya usut, sebagian besar orang yang merasa perlu untuk tersinggung adalah karena pernyataan Agnez yang menyatakan, “I don’t have Indonesian blood whatsoever”.
Tentu ini menjadi menarik karena memang secara biologis itu memang benar. Lalu apa yang menjadi persoalan di sini? Apa karena Agnez lahir di Indonesia dia harus mengakui bahwa dia berdarah Indonesia meski secara DNA tidak bisa dibuktikan? Atau setidaknya tidak usah mengatakan bahwa ‘I don’t have Indonesian blood whatsoever‘?
Mungkin kita perlu memahami wawancara singkat perihal blood yang akhirnya dipermasalahkan oleh sebagian pihak ini.
“Kelihatannya kamu berbeda dari kebanyakan orang Indonesia”, Kata Pewawancara.
“Sebenarnya, aku gak punya darah Indonesia atau apapun itu. Aku (berdarah) Jerman, Jepang, China, dan aku lahir di Indonesia. Aku juga beragama Kristen, dan mayoritas penduduk di Indonesia adalah Muslim. Jadi, aku.. aku gak bilang kalau aku gak pantas berada di Indonesia karena faktanya orang-orang di sana menerimaku apa adanya. Tetapi, selalu ada perasaan kalau aku tidak seperti orang-orang lainnya”. Jawab Agnez Mo.
“Itu perspektif yang unik”
“Tentu saja. Itu mengajariku untuk merangkul perbedaan itu, merangkul kerentananku, perbedaan yang ada, keunikanku, dan lain-lain,”
Dari sini saja sebenarnya sudah cukup jelas meskipun tidak ada darah Indonesia secara murni dalam tubuhnya, Agnez tak sedikitpun tidak bangga dengan ke-Indonesiannya. Yang kemudian menjadi menarik adalah respon dari orang-orang yang mempermasalahkan ini. Apakah alasannya karena mereka tak paham konteksnya atau karena tak tahu bahasa Inggris (Karena wawancara aslinya menggunakan bahasa Inggris).
Sentimen terhadap Minoritas
Yang kemudian menjadi menarik di sini adalah kesadaran dari kita bahwa mau diakui atau tidak, kita masih berlaku tidak adil kepada minoritas. Dan dalam kasus Agnez Mo di sini, yang kita ketahui ia seorang keturunan Tionghoa dan Kristiani. Ketika banyak yang bersuara ketika pernyataan penyanyi 32 tahun ramai dipermasalahkan, banyak yang tak menyadari dalam konteks apa ia mengatakan hal itu. Jika orang-orang yang mempermasalahkan karena merasa jiwa nasionalismenya terusik, kurang nasionalis apa seorang Agnez Mo? Bukankah ia selalu membawa nama Indonesia ke kancah Internasional sebagai orang Indonesia dan begitu bangga dengan itu? Bahkan ia sendiri menampilkan budaya Papua dalam klip Diamond, sebuah MV terbarunya. Ketidakpahaman pada konteks di sinilah yang menjadi masalah. Entah karena mereka terbiasa pada tagline ‘NKRI Harga Mati’ tanpa memahami makna di dalamnya. Bisakah kita berlaku adil pada minoritas sejak dalam dalam pikiran? Susah untuk mengakui bahwa masih begitu kental hegemoni mayoritas-minoritas dalam benak sebagian besar masyarakat kita. Kita harus sadar bahwa keadaan dikotomi seperti ini hanya akan menambah permasalahan baru. Ada sebuah masalah mendasar yang belum bisa tercabut dari akar dikotomis ini; sentimen. Mau diakui atau tidak, dari lingkungan kita mulai belajar perihal sentimen ini. Dan saya rasa negara berlepas tangan tentang ini.
Hidup sebagai minoritas di Indonesia tidaklah mudah, menjadi seorang chinese, misalnya. Pasti selalu ada diskriminasi rasial yang melekat sejak tahun ’98 bahkan jauh sebelum itu. Dan kini, isu rasial belum bisa jauh kita buang dari kehidupan berbangsa. Masalah lama yang masih begitu susah kita cabut dari akarnya adalah sentimen itu. Yang berimplikasi pada kecemburuan sosial. Sebuah mata rantai yang begitu susah diputus kecuali dengan kesadaran bersama.
Saya teringat tentang tetralogi buru karya Pramoedya Ananta Toer. Bagi Pram, Indonesia itu baru dan buatan manusia. Indonesia itu bukan bangsa karena garis darah, tetapi lahir karena pemufakatan manusia. Karena rasa itulah yang akhirnya membuat bangsa ini ada. Masalah sentimen adalah karena arogansi sebagian pihak yang merasa lebih layak memiliki negara ini. Padahal yang bagi mereka tidak lebih layak pun adalah sesama anak bangsa juga.